Hay... assalamualaikum... kali ini saya akan memposting sejarah wahid hasyim. Sudah tahu belum dengan beliau?? Beliau merupakan ayah dari KH. Abdurrahaman Wahid (mantan presiden Indonesia). Ok........ langsung saja.
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai
Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal
1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari,
diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul
Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari
10 bersaudara.
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama
sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir
dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk
mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan
Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII,
Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga
kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat
Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia).
Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso,
Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar
Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini
dengansendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik
menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian
atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin
Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan
Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan
penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin
Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal
1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari,
diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul
Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari
10 bersaudara.
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama
sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir
dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk
mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan
Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII,
Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga
kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat
Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia).
Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso,
Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar
Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini
dengansendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik
menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian
atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin
Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan
Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan
penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin
Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral
di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo
Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid
Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang
menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu,
yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy’ari
selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim
selaku Wakil Ketua.
Oleh karena KH HasyimAsy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren
Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim.
Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17
Agustus 1945)Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah,
mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama)
dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik
(kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer
Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman
pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan
pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti
akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid
Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar
waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali
menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh
pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan
erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit
dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan
yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul
Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun
sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.
di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo
Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid
Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang
menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu,
yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy’ari
selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim
selaku Wakil Ketua.
Oleh karena KH HasyimAsy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren
Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim.
Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17
Agustus 1945)Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah,
mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama)
dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik
(kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer
Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman
pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan
pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti
akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid
Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar
waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali
menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh
pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan
erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit
dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan
yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul
Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun
sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.
Source: Serbasejarah.wordpress.com